BEHAVIOR THERAPY
Perkenalan
Behaviour therapy adalah sebuah pendekatan secara klinis yang
dapat dipakai untuk mengobati bermacam-macam gangguan, dalam berbagai tempat
dan berbagai macam kelompok populasi sosial. Gangguan kecemasan, depresi,
penyalahgunaan zat, gangguan makan, kekerasan dalam rumah tangga, penyimpangan
seksual, manajemen penderitaan, dan hipertensi semuanya telah berhasil diobati
dengan memakai pendekatan ini.
Prosedur perilaku ini digunakan pada beberapa area termasuk
pengembangan ketidakmampuan, sakit mental, pendidikan dan special pendidikan,
komunitas psikologi, psikologi klinis, rehabilitasi, bisnis, manajemen diri,
psikologi olahraga, hubungan perilaku yang sehat, dan gerontology.
Latar belakang
Pada tahun 1960 Albert Bandura mengembangkan teori
pembelajaran sosial yang mengkombinasikan classical dan operant conditioning
dengan observational learning. Sejak tahun 1970anlah behaviour therapy terbukti
sebagai sebuah kekuatan utama dalam psikologi dan membuat pengaruh yang
signifikan pada pendidikan, psikologi, psikoterapi, psikiatri, dan pekerjaan
sosial. Teknik-teknik perilaku dikembangkan dan diperluas dan teknik-teknik
tersebut juga dipakai pada bidang-bidang seperti bisnis, industri, dan
membesarkan anak. Pendekatan ini sekarang dipandang sebagai pilihan perlakuan
untuk berbagai masalah psikologi.
Pada tahun 1980an dicirikan dengan sebuah penelitian untuk
pembaharuan dimasa mendatang dalam konsep dan metode-metode yang akan melebihi
teori pembelajaran tradisional.
Pada akhir tahun 1990an, behaviour therapy ditandai oleh
adanya perbedaan sudut pandang dan prosedur, tetapi semua pelaksanaannya
terfokus pada perilaku yang tampak, faktor-faktor yang menentukan perilaku,
pengalaman-pengalaman pembelajaran untuk memajukan perubahan, dan penilaian
serta evaluasi yang setepat-tepatnya.
Aaron T. Beck (1964) mendefinisikan CBT sebagai pendekatan
konseling yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini
dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang menyimpang.
Pedekatan CBT didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan dan strategi
perilaku yang mengganggu. Proses konseling didasarkan pada konseptualisasi atau
pemahaman konseli atas keyakinan khusus dan pola perilaku konseli. Harapan dari
CBT yaitu munculnya restrukturisasi kognitif yang menyimpang dan sistem
kepercayaan untuk membawa perubahan emosi dan perilaku ke arah yang lebih baik.
Matson & Ollendick (1988: 44) mengungkapkan definisi
cognitive-behavior therapy yaitu pendekatan dengan sejumlah prosedur yang
secara spesifik menggunakan kognisi sebagai bagian utama konseling. Fokus
konseling yaitu persepsi, kepercayaan dan pikiran. Para ahli yang tergabung
dalam National Association of Cognitive-Behavioral Therapists (NACBT),
mengungkapkan bahwa definisi dari cognitive-behavior therapy yaitu suatu
pendekatan psikoterapi yang menekankan peran yang penting berpikir bagaimana
kita merasakan dan apa yang kita lakukan. (NACBT, 2007).
Teori Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003: 6) pada dasarnya
meyakini pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses
Stimulus-Kognisi-Respon (SKR), yang saling berkaitan dan membentuk semacam
jaringan SKR dalam otak manusia, di mana proses kognitif menjadi faktor penentu
dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak. Sementara
dengan adanya keyakinan bahwa manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran
yang rasional dan irasional, di mana pemikiran yang irasional dapat menimbulkan
gangguan emosi dan tingkah laku yang menyimpang, maka CBT diarahkan pada
modifikasi fungsi berfikir, merasa, dan bertindak dengan menekankan peran otak
dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali.
Dengan mengubah status pikiran dan perasaannya, konseli diharapkan dapat
mengubah tingkah lakunya, dari negatif menjadi positif. Berdasarkan paparan
definisi mengenai CBT, maka CBT adalah pendekatan konseling yang menitik beratkan
pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian
yang merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis. CBT merupakan konseling
yang dilakukan untuk meningkatkan dan merawat kesehatan mental. Konseling ini
akan diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan bertindak, dengan
menekankan otak sebagai penganalisa, pengambil keputusan, bertanya, bertindak,
dan memutuskan kembali. Sedangkan, pendekatan pada aspek behavior diarahkan
untuk membangun hubungan yang baik antara situasi permasalahan dengan kebiasaan
mereaksi permasalahan. Tujuan dari CBT yaitu mengajak individu untuk belajar
mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik,
berpikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat. Hingga pada
akhirnya dengan CBT diharapkan dapat membantu konseli dalam menyelaraskan
berpikir, merasa dan bertindak.
Tujuan Konseling CBT
Tujuan dari konseling Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003: 9)
yaitu mengajak konseli untuk menentang pikiran dan emosi yang salah dengan
menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang
masalah yang dihadapi. Konselor diharapkan mampu menolong konseli untuk mencari
keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri konseli dan secara kuat mencoba menguranginya.
Dalam proses konseling, beberapa ahli CBT (NACBT, 2007;
Oemarjoedi,2003) berasumsi bahwa masa lalu tidak perlu menjadi fokus penting
dalamkonseling. Oleh sebab itu CBT dalam pelaksanaan konseling lebih menekankan
kepada masa kini dari pada masa lalu, akan tetapi bukan berarti mengabaikan
masa lalu. CBT tetap menghargai masa lalu sebagai bagian dari hidup konseli dan
mencoba membuat konseli menerima masa lalunya, untuk tetap melakukan perubahan
pada pola pikir masa kini untuk mencapai perubahan di waktu yang akan datang.
Oleh sebab itu, CBT lebih banyak bekerja pada status kognitif saat ini untuk
dirubah dari status kognitif negatif menjadi status kognitif positif.
Fokus Konseling
CBT merupakan konseling yang menitik beratkan pada
restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang
merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis dan lebih melihat ke masa
depan dibanding masa lalu. Aspek kognitif dalam CBT antara lain mengubah cara
berpikir, kepercayaan, sikap, asumsi, imajinasi dan memfasilitasi konseli
belajar mengenali dan mengubah kesalahan dalam aspek kognitif. Sedangkan aspek
behavioral dalam CBT yaitu mengubah hubungan yang salah antara situasi
permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan, belajar mengubah perilaku,
menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, serta berpikir lebih
jelas.
Prinsip – Prinsip Cognitive-Behavior Therapy (CBT)
Walaupun konseling harus disesuaikan dengan karakteristik atau
permasalahan konseli, tentunya konselor harus memahami prinsip-prinsip yang
mendasari CBT. Pemahaman terhadap prinsip-prinsip ini diharapkan dapat
mempermudah konselor dalam memahami konsep, strategi dalam merencanakan proses
konseling dari setiap sesi, serta penerapan teknik-teknik CBT. Berikut adalah
prinsip-prinsip dasar dari CBT berdasarkan kajian yang diungkapkan oleh Beck
(2011):
Prinsip nomor 1: Cognitive-Behavior Therapy didasarkan pada
formulasi yang terus berkembang dari permasalahan konseli dan konseptualisasi
kognitif konseli. Formulasi konseling terus diperbaiki seiring dengan perkembangan
evaluasi dari setiap sesi konseling. Pada momen yang strategis, konselor
mengkoordinasikan penemuan-penemuan konseptualisasi kognitif konseli yang
menyimpang dan meluruskannya sehingga dapat membantu konseli dalam penyesuaian
antara berfikir, merasa dan bertindak.
Prinsip nomor 2: Cognitive-Behavior Therapy didasarkan pada
pemahaman yang sama antara konselor dan konseli terhadap permasalahan yang
dihadapi konseli. Melalui situasi konseling yang penuh dengan kehangatan,
empati, peduli, dan orisinilitas respon terhadap permasalahan konseli akan
membuat pemahaman yang sama terhadap permasalahan yang dihadapi konseli.
Kondisi tersebut akan menunjukan sebuah keberhasilan dari konseling.
Prinsip nomor 3: Cognitive-Behavior Therapy memerlukan
kolaborasi dan partisipasi aktif. Menempatkan konseli sebagai tim dalam
konseling maka keputusan konseling merupakan keputusan yang disepakati dengan
konseli. Konseli akan lebih aktif dalam mengikuti setiap sesi konseling, karena
konseli mengetahui apa yang harus dilakukan dari setiap sesi konseling.
Prinsip nomor 4: Cognitive-Behavior Therapy berorientasi pada
tujuan dan berfokus pada permasalahan. Setiap sesi konseling selalu dilakukan
evaluasi untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. Melalui evaluasi ini
diharapkan adanya respon konseli terhadap pikiran-pikiran yang mengganggu
tujuannya, dengan kata lain tetap berfokus pada permasalahan konseli.
Prinsip nomor 5: Cognitive-Behavior Therapy berfokus pada
kejadiansaat ini. Konseling dimulai dari menganalisis permasalahan konseli pada
saat ini dan di sini (here and now). Perhatian konseling beralih pada dua
keadaan. Pertama, ketika konseli mengungkapkan sumber kekuatan dalam melakukan
kesalahannya. Kedua, ketika konseli terjebak pada proses berfikir yang
menyimpang dan keyakinan konseli dimasa lalunya yang berpotensi merubah
kepercayaan dan tingkahlaku ke arah yang lebih baik.
Prinsip nomor 6: Cognitive-Behavior Therapy merupakan edukasi,
bertujuan mengajarkan konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri, dan
menekankan pada pencegahan. Sesi pertama CBT mengarahkan konseli untuk
mempelajari sifat dan permasalahan yang dihadapinya termasuk proses konseling
cognitive-behavior serta model kognitifnya karena CBT meyakini bahwa pikiran
mempengaruhi emosi dan perilaku. Konselor membantu menetapkan tujuan konseli,
mengidentifikasi dan mengevaluasi proses berfikir serta keyakinan konseli.
Kemudian merencanakan rancangan pelatihan untuk perubahan tingkah lakunya.
Prinsip nomor 7: Cognitive-Behavior Therapy berlangsung pada
waktu yang terbatas. Pada kasus-kasus tertentu, konseling membutuhkan pertemuan
antara 6 sampai 14 sesi. Agar proses konseling tidak membutuhkan waktu yang
panjang, diharapkan secara kontinyu konselor dapat membantu dan melatih konseli
untuk melakukan self-help.
Prinsip nomor 8: Sesi Cognitive-Behavior Therapy yang
terstruktur.Struktur ini terdiri dari tiga bagian konseling. Bagian awal,
menganalisis perasaan dan emosi konseli, menganalisis kejadian yang terjadi
dalam satu minggu kebelakang, kemudian menetapkan agenda untuk setiap sesi
konseling. Bagian tengah, meninjau pelaksanaan tugas rumah (homework asigment),
membahas permasalahan yang muncul dari setiap sesi yang telah berlangsung, serta
merancang pekerjaan rumah baru yang akan dilakukan. Bagian akhir, melakukan
umpan balik terhadap perkembangan dari setiap sesi konseling. Sesi konseling
yang terstruktur ini membuat proses konseling lebih dipahami oleh konseli dan
meningkatkan kemungkinan mereka mampu melakukan self-help di akhir sesi
konseling.
Prinsip nomor 9: Cognitive-Behavior Therapy mengajarkan
konseli untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggapi pemikiran
disfungsional dan keyakinan mereka. Setiap hari konseli memiliki kesempatan
dalam pikiran-pikiran otomatisnya yang akan mempengaruhi suasana hati, emosi
dan tingkah laku mereka. Konselor membantu konseli dalam mengidentifikasi
pikirannya serta menyesuaikan dengan kondisi realita serta perspektif adaptif
yang mengarahkan konseli untuk merasa lebih baik secara emosional, tingkahlaku
dan mengurangi kondisi psikologis negatif. Konselor juga menciptakan pengalaman
baru yang disebut dengan eksperimen perilaku. Konseli dilatih untuk menciptakan
pengalaman barunya dengan cara menguji pemikiran mereka (misalnya: jika saya
melihat gambar labalaba, maka akan saya merasa sangat cemas, namun saya pasti
bisa menghilangkan perasaan cemas tersebut dan dapat melaluinya dengan baik).
Dengan cara ini, konselor terlibat dalam eksperimen kolaboratif. Konselor dan
konseli bersama-sama menguji pemikiran konseli untuk mengembangkan respon yang
lebih bermanfaat dan akurat.
Prinsip nomor 10: Cognitive-Behavior Therapy menggunakan
berbagai teknik untuk merubah pemikiran, perasaan, dan tingkah laku.
Pertanyaanpertanyaan yang berbentuk sokratik memudahkan konselor dalam
melakukan konseling cognitive-behavior. Pertanyaan dalam bentuk sokratik
merupakan inti atau kunci dari proses evaluasi konseling. Dalam proses
konseling, CBT tidak mempermasalahkan konselor menggunakan teknik-teknik dalam
konseling lain seperti kenik Gestalt, Psikodinamik, Psikoanalisis, selama
teknik tersebut membantu proses konseling yang lebih saingkat dan memudahkan
konelor dalam membantu konseli. Jenis teknik yang dipilih akan dipengaruhi oleh
konseptualisasi konselor tehadap konseli, masalah yang sedang ditangani, dan
tujuan konselor dalam sesi konseling tersebut.
4 Area Perkembangan
1. Classical Conditioning
Classical conditioning melihat perilaku tertentu responden,
seperti lutut tersentak dan saliva, keduanya diperoleh dari organisme yang
pasif. Pada tahun 1950an, Joseph Wolpe dan Arnold Lazarus serta Hans Eysenck
mulai menggunakan penemuan-peneuan penelitian eksperimental dengan memakai
hewan-hewan untuk membantu menangani phobia ditempat-tempat klinis. Pekerjaan
mereka berdasarkan pada teori belajar Hulian dan Pavlovian (classical)
Conditioning.
Tokoh utama adalah Ivan Pavlov, yaitu yang mengilustrasikan
classical conditioning yang bereksperimen dengan anjing. Ketika makanan
dikeluarkan, mulut anjing mengeluarkan air liur yang merupakan perilaku
responden. Ketika makanan dimunculkan secara berulang-ulang dengan diikuti
suara bel, kemungkinan anjing akan mengeluarkan air liurnya untuk suara dari
bel itu sendiri. Bagaimanapun juga, jika bel dibunyikan berulang kali tapi
tidak dipasangkan lagi dengan makanan, respon air liur stidaknya akan berkurang
dan menjadi hilang.
2. Operant Conditioning
Termasuk tipe pembelajaran dimana perilaku dipengaruhi oleh
sebagian besar konsekuensi-konsekuensi yang mengikutinya. Jika
perubahan-perubahan lingkungan ditimbulkan oleh perilaku yang dikuatkan , maka
jika mereka menyediakan tiap reward untuk organisme atau aversive stimuli yang
dilenyapkan, mungkin sekali perilaku itu akan datang kembali. Jika
perubahan-perubahan lingkungan menghasilkan aversive stimuli, kesempatan
perilaku akan terulang lagi dan akan berkurang positif dan negative
reinforcement, hukuman, dan teknik-teknik extinction.
Skinner berpendapat bahwa pembelajaran tidak dapat terjadi
pada ketiadaan tiap jenis penguatan, salah satunya positif atau negative.
Menurut Skiner, tindakan-tindakan yang dikuatkan cenderung diulangi dan
tindakan yang tidak mendapat penguatan cenderung berkurang.
3. Social Learning Theory
Pendekatan belajar sosial dikembangkan oleh Albert BAndura
Richard Walters (1963) yaitu saling berhubungan, saling disiplin, dan
multimodal (Bandura, 1977, 1982). Perilaku dipengaruhi oleh tiap-tiap stimulus,
baik dari penguatan eksternal maupun proses-proses mediational kognitif.
Belajar sosial dan teori kognitif menghasilkan triadic hubungan resiprokal,
diantaranya adalah lingkungan, faktor-faktor personal,(keyakinan, pilihan,
pengharapan, persepsi diri dsb) dan perilaku individu. Menurut Bandura (1982,
1997) efikasi diri adalah keyakinan atau pengharapan individu bahwa mereka
dapat menguasai situasi dan memberikan perubahan yang diinginkan. Teori efikasi
diri mempresentasikan suatu wacana utama tentang kesatuan penjelasan teoritis
bagaimana prosedur terap behaviour dan psikoterapi lain bekerja.
4. Cognitive Behaviour Therapy
Beberapa teknik yang dikembangkan dalam 3 dekade terakhir ini,
menegaskan bahwa proses-proses kognitif menghasilkan event-event tersendiri
seperti self-talk klien sebagai mediator perubahan perilaku. Pendekatan ini
menawarkan metode-metode action-oriented yang bervariasi untuk membantu orang
merubah apa yang mereka pikir dan lakukan.
KONSEP-KONSEP UTAMA
sudut pandang alami manusia
Terapy behaviour modern didasarkan pada sebuah sudut pandang
perilaku manusia yang alami yang menunjukkan sebuah pendekatan yang terstruktur
dan sistematis untuk konseling. Sudut pandang ini tidak terletak pada sebuah
asumsi deterministic bahwa manusia-manusia adalah hasil dari kondisi
sosiokultural mereka. Sepertinya sudut pandang yang sekarang yang menyatakan
bahwa seseorang merupakan produser sekaligus hasil dari lingkungan mereka.
Pada behaviour therapy jaman sekarang lebih ke arah
prosedur-prosedur perkembangan yang secara aktual memberi control pada klien
dan meningkatkan tingkat kebebasan mereka. Behaviour therpy bertujuan untuk
meningkatkan skill-skill seseorang sehingga mereka mempunyai pilihan yang lebih
untuk merespon.
Secara filosofis, pendekatan behavioural dan humanistik
mempunyai sudut pandang yang berbeda seperti kutub yang berlawanan. Lingkungan
yang keras melihat dasar alami manusia pada sebuah stimulus-respon atau
respon-konsekuensi model perilaku yang telah ditentang oleh Bandura (1974, 1977,
1986). Dia menolak model mekhanistic dan deterministik karena memiliki
kepercayaan yang terpisah pada hal-hal yang menentukan lingkungan, dimana
terdapat kesulitan-kesulitan yang mengingat akan kapasitas yang dimiliki untuk
memberikan efek lingkungan yang nyata.
KARAKTERISTIK DAN ASUMSI DASAR
10 karakteristik kunci dari terapi behavior berdasarkan
deskripsi dari Kazdin (2001), Miltenberger (2004), dan Spiegler dan Guevremont
(2003) antara lain:
1. Terapi behavior didasarkan pada prinsip dan prosedur dari
metode ilmiah. Dengan penelitian diperoleh dari prinsip-prinsip pembelajaran
untuk membantu mengubah tingkah laku maladaptif. Terapis behavior menguraikan
tujuan treatmen dalam tujuan konkret yang objektif untuk membuat adanya
kemungkinan replikasi intervensi mereka. Tujuan ini disetujui oleh kedua pihak.
Metode penelitian digunakan untuk mengevaluasi efektifitas prosedur assessmen
dan treatmen. Secara singkat, konsep dan prosedur behavioral dinyatakan secara
eksplisit, diuji secara empiris dan diperbaiki secara terus-menerus.
2. Terapi behavior memperlakukan masalah klien dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang menentang analisis kemungkinan
determinan-determinan historikal. Penekanannya pada faktor-faktor spesifik yang
mempengaruhi keberfungsian saat ini dan faktor-faktor yang dapat digunakan
untuk memodifikasi performance. Terapis menggunakan teknik behavioral untuk
mengubah faktor-faktor saat ini yang mempengaruhi TL klien serta dengan melihat
masa lalu sebagai tambahan informasi kejadian yang berhubungan dengan TL saat
ini.
3. Klien yang dilibatkan dalam terapi behavior diharapkan
berperan aktif dengan ikut serta dalam aksi-aksi memperlakukan masalah mereka.
Klien memantau TL mereka baik selama maupun di luar sesi terapi, belajar dan
praktek skil coping dan role-play TL baru. Terapi behavior adalah pendekatan
berorientasi tindakan, dan belajar adalah inti dari terapi.
4. Pendekatan behavioral menekankan mengajari klien skil-skil
manajemen diri, dengan harapan bahwa mereka akan bertanggung jawab atas
pergantian yang mereka pelajari dalam ruang terapis menuju kehidupan
sehari-hari. Terapi behavior secara umum dibawa dalam lingkungan natural klien
sebanyak mungkin.
5. Fokusnya adalah menilai TL baik yang jelas maunpun
tersembunyi secara langsung, mengidentifikasi masalah, dan mengevaluasi
perubahan. Assessmen langsung dari target masalah dilakukan melalui observasi
atau pemantauan diri (self-monitoring). Terapis juga menilai kebudayaan klien
sebagai bagian dari lingkungan sosial mereka, termasuk jaringan dukungan sosial
yang berhubungan dengan target TL.
6. Terapi behavior menekankan pendekatan kontrol diri dimana
klien belajar strategi-strategi manajemen diri. Terapis melatih klien untuk
memulai, mengadakan dan mengevaluasi terapi mereka sendiri.
7. Intervensi treatmen behavioral secara individual
disesuaikan dengan masalah spesifik yang dialami klien. Beberapa teknik terapi
digunakan untuk memperlakukan masalah individu klien. Dalam hal ini harus
disesuaikan treatmen apa, untuk siapa yang paling efektif dan tiap klien
berbeda.
8. Praktek dari terapi behavior didasarkan pada hubungan
kolaborasi antara terapis dan klien, dan setiap usaha dibuat untuk memberitau
klien tentang bentuk dan jalannya treatmen.
9. Penekanannya adalah pada aplikasi prakteknya. Intervensi
diaplikasikan dari berbagai segi dari kehidupan sehari-hari dimana TL
maladaptif dikurangi dan TL adaptif ditingkatkan.
10. Terapis berusaha mengembangkan prosedur kultur spesifik
dan memelihara ketaatan serta kooperasi klien.
PROSES TERAPEUTIK
Tujuan Terapeutik
Tujuan umum terapi behavior adalah meningkatkan pilihan
individu dan menciptakan kondisi baru bagi pembelajaran. Klien dan terapis pada
awal sesi membatasi tujuan proses terapeutik. Assessmen formal terlebih dulu
dilakukan terhadap treatmen untuk menentukan tingkah laku yang menjadi target
perubahan. Assessmen berkelanjutan selama terapi dapat menentukan apakah
tujuannya sudah dicapai atau belum. Terapi behavior kontemporer menekankan
peran aktif klien dalam menentukan treatmen mereka. Terapis membantu klien
membuat tujuan spesifik yang dapat diukur. Terapis behavior dan klien mengubah
tujuan selama proses terapeutik bila perlu.
Rangkaian dari tujuan yang dipilih dideskripsikan oleh Cormier
dan Nurius. Proses ini menunjukkan hubungan kolaboratif dasar yang penting :
• Konselor menyediakan tujuan yang rasional, menjelaskan
peranan tujuan dalam terapi, maksud atau kegunaan dari tujuan itu, dan
partisipasi klien dalam proses penentuan tujuan.
• Klien mengenali hasil yang diinginkan dengan menentukan
perubahan-perubahan yang dia inginkan dari konseling.
• Klien adalah orang yang mencari bantuan, dan hanya dia yang
dapat melakukan perubahan. Konselor membantu klien menerima tanggung jawab atas
perubahan.
• Nilai efek manfaat semua tujuan yang diidentifikasi
diselidiki. Konselor dan klien mendiskusikan kemungkinan manfaat dan
ketidakmanfaatan tujuan ini.
• Klien dan konselor kemudian memutuskan untuk melanjutkan
mengikuti tujuan yang telah dipilih, untuk mempertimbangkan kembali tujuan awal
klien, atau untuk mencari pelayanan dari praktisi lainnya.
Fungsi Dan Peranan Terapis
Terapis behavior cenderung untuk aktif dan langsung dan
berfungsi sebagai konsultan dan pemecah masalah. Praktisi memperhatian
tanda-tanda yang diberikan klien kemudian mengikuti dugaan klinis dari klien.
Mereka menggunakan beberapa teknik umum seperti summarizing, refleksi,
klarifikasi, serta pertanyaan terbuka dan tertutup. Tetapi, klinisi behavioral
melaksanakan fungsi lainnya juga yaitu :
• Melaksanakan sebuah assessmen fungsional yang seksama untuk
mengidentifikasi kondisi yang dipertahankan dengan pengumpulan informasi yang
sistematis tentang penyebab situasi, dimensi masalah tingkah laku, dan akibat
dari masalah itu.
• Membuat tujuan treatmen awal, dan mendisain serta menerapkan
rencana treatmen untuk melaksanakan tujuan ini.
• Menggunakan strategi untuk menciptakan generalisasi dan
memelihara perubahan tingkah laku.
• Mengevaluasi kesuksesan rencana perubahan dengan mengukur
kemajuan ke arah tujuan selama durasi treatmen.
• Melaksanakan assessmen lanjutannya.
Pengalaman Klien dalam Terapi
Kontribusi unik dari terapi behavior adalah behavior terapi
menyediakan terapis dengan sistem yang bagus dari prosedur yang dipakai. Baik
terapis maupun klien memiliki peran yang jelas, dan ditekankan akan pentingnya
kesadaran serta partisipasi klien dalam proses terapeutik. Terapi behavior
dicirikan dengan peran aktif terapis dan klien. Peran terapis adalah mengajari
skil-skil konkrit melalui pemberian instruksi, modeling, dan melalui feedback
performance. Klien campur tangan dalam pengulangan behavioral dengan feedback
sampai skil-skil telah dipelajari dengan baik dan umumnya menerima aktif
tugas-tugas rumah (seperti pemantauan diri dari masalah behavioral). Klien
harus dimotivasi untuk mengubah dan bekerja sama dalam aktivitas terapeutik,
baik dalam sesi terapi maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Klien diberi semangat untuk bereksperimen terhadap tujuan
untuk meningkatkan repertoir tingkah laku adaptif mereka. Mereka dibantu untuk
menggeneralisasikan dan mentransfer pembelajaran yang didapat dalam situasi
terapi menuju situasi di luar terapi. Verbalisasi dalam konseling digunakan
ketika transfer perubahan dibuat dari sesi terapi menuju kehidupan sehari-hari
dan ketika efek dari terapi diperluas di luar pengakhiran dimana treatmen dapat
dianggap berhasil.
Klien memiliki frame of reference untuk menilai kemajuan
mereka dalam menyelesaikan tujuan mereka. Ketika tujuan telah diselesaikan,
maka klien dan terapis mengakhiri treatmen. Setelah terapi behavior yang
sukses, klien mengamalkan pilihan-pilihan yang lebih baik dalam berperilaku.
Hubungan Antara Terapis dan Klien
Hubungan terapeutik yang baik dapat membantu proses perubahan
behavioral dimana meningkatkan kesempatan klien agar mudah menerima terapi,
bekerja sama dengan prosedur terapeutik, dan klien memiliki penerimaan positif
serta harapan sukses mengenai efektivitas terapi. Kebanyakan praktisi
behavioral mempertahankan faktor-faktor seperti kehangatan, empati,
keautentikan, kepermisivan, dan penerimaan sangat dibutuhkan agar perubahan
behavioral terjadi namun juga harus disertai dengan teknik-teknik behavioral
sehingga tujuan dapat tercapai. Hubungan klien-terapis adalah fondasi dimana
strategi terapeutik dibangun untuk membantu perubahan klien pada arah yang
mereka harapkan.
Aplikasi teknik dan prosedur terapeutik
Penilaian tingkah laku, yang diawali dengan deskripsi tentang
keluhan klien merupakan hal yang utama untuk terapi tingkah laku. Klien
menyimpan catatan/memori tentang frekuensi dan intensitas kejadian, dan ini
menjadi alat dalam membuat sebuah rencana pengobatan dan memutuskan apakah
terapinya bekerja/berjalan. Ada beberapa instrumen penilaian yang praktis dan
mudah digunakan, termasuk laporan isi laporan diri tak terhitung, skala rating
tingkahlaku/kebiasaan, format penelitian diri, dan teknik penelitian sederhana
untuk mengumpulkan informasi yang berguna untuk permasalahan klien. Metode
penilaian tingkah laku dapat sepenuhnya digunakan untuk bekerja dengan klien
dengan cakupan permasalahan yang berbeda.
Kekuatan dari pendekatan tingkah laku adalah pengembangan dari
prosedur pengobatan spesifik yang harus ditunjukkan agar efektif dalam mencapai
sasaran. Terapis tingkah laku memiliki hipotesis yang mereka jalankan dari
menerapkan prosedur pengobatan, yang mana dapat diuji untuk kebenarannya. Hasil
dari intervensi mereka menjadi jelas karena mereka memperoleh umpan balik
secara berkesinambungan dari klien mereka.
Temuan utama yang dihasilkan oleh penelitian dalam terapi
tingkah laku adalah hasil perawatan memiliki segi yang banyak (bermacam-macam).
Tidak semua ada perubahan atau tidak ada sama sekali. Peningkatan mungkin
terjadi di beberapa area tetapi tidak pada area lainnya. Semua peningkatan
tidak terjadi pada waktu yang sama, dan diperoleh dibeberapa area yang mungkin
berhubungan dengan area lain (Kazdin, 1982; Voltz & Evans, 1982).
Menurut Arnold Lazarus ( 1989, 1992b, 1997a, 2000b), seorang
pelopor dalam terapi klinis perilaku, praktisi tingkah laku dapat disertakan
dalam rencana perawatan mereka dengan semua teknik yang dapat ditunjukan demi
keefektifan perubahan perilaku. Lazarus mendukung penggunaan teknik yang
berbeda, dengan mengabaikan dasar teoritis mereka. Dalam pandangannya, semakin
luas cakupan teknik terapi, semakin berpotensi efektif terapi tersebut. Jelas
bahwa terapis perilaku tersebut harus tidak membatasi diri mereka untuk
memperoleh metode dari teori belajar. Demikian juga, teknik tingkah laku dapat
disatukan ke dalam pendekatan-pendekatan lain.
Prosedur pengobatan digunakan terapis perilaku secara rinci
dan dirancang untuk klien tertentu. Terapis selalu kreatif dalam intervensi
(campur tangan) mereka.
Penerapan analisis tingkah laku : teknik mempengaruhi keadaan
Bagian ini menguraikan beberapa prinsip utama dari
mempengaruhi keadaan : penguatan positif, penguatan negatif, pemunahan, hukuman
positif, dan hukuman negatif.
Dalam penerapan analisa perilaku, teknik pengaruh keadaan dan
metode penilaian dan evaluasi diaplikasikan dalam sebuah cakupan luas
permasalahan pada pengaturan yang berbeda (Kadzin, 2001).
Penguatan positif melibatkan penambahan sesuatu yang berharga
pada individu seperti pujian, perhatian, uang atau makanan sebagai konsekuansi
dari perilaku tertentu. Stimulus yang diikuti perilaku merupakan penguatan
positif. Contohnya, seorang anak mendapat nilai sempurna dan dipuji orang tuanya.
Bila dia menghargai pujian ini, ada kemungkinan dia akan memiliki keinginan
untuk mengejar nilai yang baik dimasa mendatang. Jika tujuan dari suatu program
adalah untuk mengurangi atau menghapuskan perilaku yang tidak diinginkan,
penguatan positif sering digunakan untuk meningkatkan frekuensi dari perilaku
yang lebih diinginkan, yang mengganti perilaku yang tidak diinginkan.
Penguatan negatif melibatkan jalan keluar atau penghindaran
rangsangan. Individu yang termotivasi untuk memperlihatkan suatu perilaku yang
diinginkan untuk menghindari kondisi yang tidak diinginkan. Contohnya, seorang
teman ku tidak suka dibangunkan dengan suara alarm jam yang melengking. Dia
telah melatih dirinya untuk bangun beberapa menit sebelum alarm berbunyi.
Metode mengubah perilaku yang lain adalah pemunahan, yang
mengacu pada penahanan penguatan dari penguatan respon sebelumnya. Dalam
penerapan pengaturan, pemunahan dapat digunakan untuk perilaku yang telah
dirawat oleh penguatan pasitif atau penguatan negatif. Sebagai contoh,
anak-anak yang memperlihatkan tingkah marah dibantu dengan memberikan perhatian
dari orang tua mereka. Suatu pendekatan untuk mangimbangi permasalahan perilaku
adalah mengeliminasi koneksi antara perilaku tertentu (kemarahan) dan penguatan
positif (perhatian). Bila itu dilakukan akan dapat mengurangi atau
menghilangkan efek tersebut, seperti kemarahan dan agresi. Pemunahan dapat
mengurangi maupun menghapuskan perilaku tersebut, tetapi pemunahan tidak akan
mengganti respon tersebut yang telah dimusnahkan. Karena alasan ini, pemunahan
harus sering digunakan pada program pembenahan/perbaikan perilaku dengan
beberapa strategi penguatan (Kazdin, 2001).
Cara lainnya perilaku dikontrol melalui hukuman, dimana
konsekuensi pada beberapa perilaku tertentu mengakibatkan penurunan dari
perilaku tersebut. Tujuan dari penguatan adalah untuk meningkatkan perilaku
target, tetapi tujuan dari hukuman adalah untuk menurunkan perilaku target.
Miltenberger (2004) menjelaskan 2 jenis hukuman yang mungkin terjadi sebagai
konsekuensi dari perilaku : hukuman positif dan hukuman negatif. Dalam hukuman
positif suatu stimulus ditambahkan pada perilaku untuk menurunkan frekuensi
dari perilaku ( seperti tamparan di pantat seorang anak karena kelakuan buruk
atau teguran pada seorang siswa karena nakal di kelas). Dalam hukuman negatif
penguatan stimulus dihilangkan/dipindahkan mengikuti perilaku untuk mengurangi
frekuensi perilaku target (seperti mengurangi gaji seorang pekerja karena jam
kerja yang hilang, atau menghapus jam televisi dari anak-anak karena kelakuan
buruk). Dalam jenis hukuman itu,perilaku akan lebih sedikit terjadi dimasa
mendatang.
Skinner (1948) percaya hukuman memiliki nilai terbatas dalam
mengubah perilaku dan selalu dengan cara yang tidak diinginkan untuk mengubah
perilaku. Dia menentang penggunaan kendali atau hukuman, dan merekomendasikan
penguatan positif sebagai pengganti. Prinsip kuncinya adalah menggunakan paling
sedikit alat yang mungkin untuk merubah perilaku, dan penguatan positif
merupakan yang terkuat sebagai pengganti. Skinner percaya pada nilai dalam
menganalisis faktor lingkungan untuk kedua penyebab dan perbaikan untuk
permasalahan perilaku dan menantang bahwa manfaat terbesar pada individu ke
suatu masyarakat dengan penggunaan penguatan positif yang sistematis sebagai
jalan menuju kendali perilaku (Nye, 2000).
Penulis lain juga telah menunjukkan efek samping dari hukuman
dan menyimpulkan bahwa walaupun hukuman mungkin menghapuskan perilaku target
tetapi penggunaan teknik ini terus menerus mengakibatkan efek samping yang
tidak diinginkan dan sering susah untuk dikendalikan (Kazdin, 2001;
miltenberger, 2004). Sebagian efek samping ini adalah reaksi emosional atas
hukuman, mencari jalan keluar dan perilaku menghindar, penguatan negatif untuk
penggunaan hukuman, modeling penggunaan hukuman, dan isu etis. Hukuman harus
digunakan hanya setelah pendekatan yang telah diterapkan dan ditemukan untuk
tidak efektif dalam mengubah masalah prilaku (Kazdin, 2001; miltenberger,
2004).
Ada suatu tempat untuk hukuman pada program perubahan
perilaku, tapi hukuman harus digunakan hanya untuk melengkapi strategi
penguatan yang mengarah pada pengembangan lain yang sesuai dengan perilaku
(Kazdin, 2001).
Model Assesmen Fungsional
Miltenberger ( 2004) menguraikan bagaimana cara untuk
berhadapan dengan masalah perilaku melalui langkah demi langkah assesmen
fungsional dan program perawatan :
1. Langkah pertama yaitu melakukan suatu dugaan fungsional
untuk mengumpulkan data tentang masa lalu dan konsekuensi yang secara
fungsional dihubungkan dengan kejadian dari permasalahan perilaku.
2. Untuk melakukan suatu dugaan fungsional, menggunakan kedua
metode tidak langsung (interview perilaku atau kuisioner untuk mengumpulkan
informasi tentang permasalahan perilaku) dan metode pengamatan langsung.
3. Berdasarkan pada pengumpulan informasi dari dugaan
fungsional, terapis mengembangkan hipotesis tentang sifat alami dari masalah
perilaku dan kondisi-kondisi yang mendukung perilaku ini.
4. Ketika fungsi masalah perilaku yang berbeda dikenali,
perawatan fungsional ditujukan untuk menunjukkan masa lalu dan hipotesis
konsekuensi untuk memelihara masalah perilaku. Perawatan fungsional meliputi teknik-teknik
di bawah ini :
• Penguatan diferensial dari perilaku yang diinginkan untuk
mengganti masalah perilaku, yang mungkin meliputi prosedur penguatan positif
dan negative.
• Pemunahan masalah perilaku dengan menahan penguatan (
dikenali pada proses dugaan fungsional ) yang ditemukan untuk perawatan
masalah.
• Mendahulukan prosedur control yang mana pendahuluan
dimanipulasi dalam percobaan untuk mencegah terjadinya permasalah perilaku dan
mempromosikan perilaku alternatif untuk mengganti masalah perilaku.
5. Prosedur hukuman negatif mungkin digunakan untuk mengurangi
masalah perilaku, tetapi hanya setelah pendekatan fungsional telah dicoba.
6. Setelah metode perawatan ini digunakan, sangat penting
untuk mengembangkan strategi mempromosikan penyamarataan suatu pemeliharaan
perilaku yang telah terjadi.
Pelatihan relaksasi dan metoda yang berhubungan
Pelatihan relaksasi telah mulai popular sebagai metode
mengajar orang untuk mengatasi tekanan yang disebabkan kehidupan sehari-hari.
Hal itu mengarah pada keberhasilan otot dan relaksasi mental dan mudah
dipelajari. Setelah klien belajar dasar dari prosedur relaksasi, sangat penting
bagi mereka untuk berlatih latihan ini setiap hari nuntuk memperoleh hasil
maksimal.
Pelatihan relaksasi melibatkan beberapa komponen yang secara
khas diperlukan 4 hingga 8 jam instruksi. Klien diberi satu set instruksi yang
menanyakan mereka untuk rileks. Mereka mengasumsikan suatu posisi pasif dan
rileks dalam lingkungan yang tenang. Bernafas dalam dan tenang juga
menghasilkan relaksasi. Pada waktu yang sama klien belajar untuk bermental
“lepas”, mungkin dengan memfokuskan pada gambaran atau pikiran yang
menyenangkan. Klien didukung untuk benar-benar merasakan dan mengalami kenaikan
itu, untuk mengetahui otot mereka mulai tegang dan mempelajari kenaikan ini,
dan untuk menahan dan sepenuhnya mengalami kenaikan ini. Ini juga berguna untuk
klien dalam mengalami perbedaan antara suatu tegangan dan suatu relaksasi.
Relaksasi menjadi ditanggapi dengan baik, yang mana menjadi suatu kebiasaan
bila dilatih setiap hari dalam 20 atau 25 menit.
Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi Sistematis yang didasarkan pada prinsip kondisi
klasik, adalah dasar prosedur tingkah laku yang dikembangkan oleh Joseph Wolpe,
seorang pelopor terapi perilaku. Bayangan klien lebih menimbulkan ketertarikan
pada waktu yang sama bahwa mereka terlibat dalam suatu perilaku yang bersaing
dengan kecemasan. Prosedur ini bisa dipertimbangkan sebagai format terapi
pembukaan karena klien diminta untuk membuka diri mereka agar tertarik untuk
membayangkan sesuatu sebagai jalan untuk menurunkan kecemasan
Sebelum menerapkan prosedur desensitisasi, terapis memeriksa
interview awal untuk mengidentifikasi informasi spesifik untuk mengumpulkan
informasi latar belakang yang relevan tentang klien. Interview ini, yang
mungkin menjadi bagian terakhir, memberi terapis pengertian yang baik tentang
siapakah klien. Terapis mempertanyakan pada klien tentang keadaan tertentu yang
menimbulkan kondisi ketakutan.
Cormier dan Nurius (2003), mendeskripsikan beberapa langkah
dalam menggunakan system desensitization:
1.Relaxation training
2.Development of the anxiety hierarchy
3.Sistem desentization yang benar
1.Relaxation training
Terapis bersikap sangat tenang, lembut dan berbicara dengan
nyaman untuk meningkatkan relaksasi otot.Klien diminta untuk membayangkan lebih
dahulu situasi-situasi yang menyenangkan,.Hal ini penting agar klien
mendapatkan ketenangan dan kedamaian.Klien kemudian dibimbing bagaimana cara
merelaksasi seluruh otot sambil memvisulisasikakan macam-macam bagian tubuh
dengan tekanan pada otot wajah.Otot lengan direlaksasi terlebih dahulu,
dilanjutkan otot kepala, leher dan bahu, punggung, perut dan ronga dada dan
kemudian kaki.Klien diminta untuk berlatih relaksas diluar sesi selama 30 menit
setiap hari.
2.Menyusun Tingkatan Kecemasan
Terapis bersama dengan klien menyusun suatu tingkatan
kecemasan kedalam wilayah-wilayah tertentu, seperti penolakan, cemburu, ketidak
setujuan, kritikan atau suatu phobia yang teranalisa.Terapis membuat sebuah
daftar bertingkat mengenai situasi-situasi yang dapat menyebabkan peningkatan
kecemasan atau penghindaran.Tingkatan disusun kedalam situasi yang paling buruk
yang dapat dibayangkan oleh klien ke situasi yang dapat menimbulkan kecemasan
yang tarafnya paling rendah.Jika klien telah ditentukan memiliki kecemasan yang
berhubungan dengan penolakan.Misalnya, situasi yang dapat menimbulkan kecemasan
tertinggi boleh jadi penolakan oleh pasangannya kemudian penolakan oleh teman
dekat dan kemudian oleh teman kerja.Situasi yang tingkat mengganggunya paling
rendah boleh jadi penolakan oleh orang yang tak dikenal klien dalam sebuah
pesta.
3.Sistem Desensitisasi
Desensitization dimulai setelah beberapa sesi interview
lengkap.Proses desensitisation dengan keadaan klien yang rileks dengan mata
tertutup. Terapis menciptakan keadaan yang netral sementara klien diminta untuk
membayangkan dirinya berada didalamnya.Jika klien mampu untuk tetap santai,
mintalah dirinya untuk membayangkan dirinya berada dalm keadaan yang dapat
menimbulkan kecemasan yang tingkatnya paling rendah.Terapis terus mengungkapkan
secara bertingkat keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan kecemasan sampai klien
menunjukkan bahwa dia mengalami kecemasan, dan pada saat itulah pengungkapan
situasi oleh terapis diakhiri.Kemudan relaksasi dilakukan lagi dan terapis
kembali mengungkapkan keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan kecemasan.Treatmen
diakhiri saat klien mampu untuk tetap dalam kondisi relaks saat membayangkan
kondisi yang sebelumnya paling mengganggu dan menimbulkan kecemasan.
Inti dari system desensitisasi adalah mengulang proses
membayangkan situasi-situasi yang dapat menimbulkan kecemasan tanpa mengalami
konsekuensi negatif.
TERAPI EXPOSURE
Terapi exposure di desain untuk menangani ketakutan dan respon
emosi negative lainnya dengan mengenalkan klien pada kondisi-kondisi yang dapat
nenimbulkan kecemasan, di bawah kondisi yang terkontrol oleh terapis.
In Vivo Desensitization
Melibatkan klien untuk mengekspos situasi nyata yang
menakutkan dalam kehidupan sehari-harinya.Klien dapat menghentikan exposure-nya
jika dirinya mengalami kecemasan tingkat tinggi.
Flooding (Pembanjiran)
Bentuk lain terapi ekspose adalah flooding (pembanjiran), yang
mengacu pada in vivo atau imaginal ekspose untuk menimbulkan stimulus
pembangkit kecemasan untuk suatu periode yang diperpanjang.Karakteristik dari
semua terapi ekspose adalah walaupun klien mengalami kecemasan sepanjang
pengeksposan, konsekuensi negative tidak terjadi.
In vivo flooding terdiri dari menguatkan dan memperpanjang
ekspose yang menghasilkan stimuli untuk merangsang kecemasan yang nyata Secara
umum,rasa takut yang tinggi pada klien mempertahankan kecemasan mereka melalui
penggunaan perilaku maladaptive.di dalam flooding, klien dicegah dari
penggunaan respon maladapitf saat berada dalam situasi yang membangkitkan
kecemasan.
Imaginal flooding didasarkan pada prinsip-prisip yang sama dan
mengikuti prosedur yang sama kecuali terjadi ekspose pada imajinasi klien di
kehiduapan sehari-harinyaKeuntungan menggunakan imaginal flooding pada in vivo
flooding adalah bahwa tidak ada pembatasan sifat alami situasi-situasi yang
membangkitkan kecemasan yang dapat diperlakukan.
EYE MOVEMENT DESENSITIZATION and REPROCESSING (EMDR)
EMDR adalah salah satu bentuk terapi exposure yang melibatkan
imajinasi pembajiran (imaginal flooding), pembentukan ulang pola pikir dan
menggunakan kecepatan, irama pergerakan mata dan rangsangan dari dua belah
pihak untuk menangani klien yang mengalami traumatic stress. EMDR dikembangkan
oleh Francine Shapiro (2001), Prosedur terapi ini mengambil cakupan luas dari
intervensi behavioral.Di desain untuk membantu klien yang menghadapi gangguan
stress pascatrauma.
EMDR terdiri atas delapan tahap inti yang banyak diambil dari
prosedur yang digunakan dalam terapi behavior:
1. EMDR digunakan untuk menolong klien membentuk kembali pola
pikir mereka atau untuk memproses ulang informasi yang mereka miliki.Seperti
halnya pada terapi behavior, tahap awal pada perawatan ini membutuhkan
pemahaman akan masalah klien, mengidentifikasi dan mengevaluasi tujuan perawatan
secara spesifik.
2. Tahap persiapan melibatkan sebuah terapi kelompok.Terapis
menjelaskan proses dan pengaruh EMDR, mendiskusikan tujuan dan harapan yang
mungkin dimiliki klien, tahap ini dimulai dengan melakukan relaksasi dan
nenciptakan suasana yang nyaman saat klien dpat mempertahankan imajinasi
emosinya.
3. Tahap assessment (pengukuran) meliputi, identifikasi memori
traumatis yang menimbulkan kecemasan, identifikasi sensasi emosional dan fisik
yang dihubungkan dangan peristiwa traumatis, evaluasi terhadap skala Subjective
Unit of Disturbance (SUD), identifikasi terhadap kognisi negative yang
dihubungkan dengan peristiwa yang mengganggu, dan menemukan suatu kepercayaan
adaptif yang akan mengurangi tingkat kecemasan.
4. Di dalam tahap desentisasi, klien diminta untuk
memvisualisasikan gambaran traumatiknya, menuturkan kepercayaan maladaptifnya,
dan memperhatikan sensasi fisiknya.Proses pengeksposan terbatas, klien diminta
untuk mengekspose keadaan yang paling mengganggu selama kurang dari semenit
tiap sesinya..Klien diminta untuk (1)membuang pengalaman
negatifnya.(2)melaporkan apa yang dibayangkannya, dirasakan dan dipikirkannya.
5. Tahap Instalasi terdiri dari penerapan dan peningkatan
kekuatan pola pikir (kognisi) positif klien yang telah teridentifikasi sebagai
pengganti pola pikir negatif.Kenyataan untuk mengasosiasikan peristiwa
traumatic dengan kepercayaan yang adaptif sehingga memori tidak lagi mampu
menimbulkan kecemasan dan pikiran negatif.Fokus yang menjadi kekuatan pada
klien adalah memiliki positive self assessment (penilaian diri yang positif),
yang menjadi hal sangat penting untuk mencapai peningkatan terapi.
6. Setelah pola pikir positif ditanamkan, klien diminta untuk
memvisualisasikan peristiwa traumatic dan pola pikir positifnya kemudian terapis
memeriksa badannya dari atas sampai bawah dan mengidentifikasi tegangan seluruh
tubuhnya.Pemeriksaan selesai ketika klien mampu memvisualisasikan peristiwa
tersebut, dan pada saat yang sama, sebagian kecil tubuh mengalami ketegangan
dan tetap mampu berpikir positif.
7. Penting untuk menutup tiap-tiap sesi dengan baik.Terapis
hendaknya mengingatkan klien bahwa dirinya mungkin akan mengalami gangguan
imajinasi, emosi, dan pemikiran antara tiap-tiap sesi.Klien diminta untuk
mencatat dalam buku harian atau jurnal dan merekam hal-hal yang
mengganggunya..Beberapa intervensi dari klien diharapkan untuk melakukan
beberapa kegiatan selama proses perawatan seperti relaksasi, menciptakan
imajinasi, meditasi, self monitoring, dan latihan pernafasan.
8. Mengevaluasi kembali perawatan yang sudah dijalani,
hendaknya diterapkan pada awal masing-masing sesi baru.Tahap EMDR yang terakhir
meliputi beberapa proses behavioural, yaitu: reconceptualisasi permasalahan
klien, penetapan tujuan baru proses terapi, melaksanakan desensitisasi lebih
lanjut , melanjutkan tugas merestukturisasi aspek kognitif, melanjutkan proses
self monitoring , dan secara kolaboratif mengevaluasi hasil perawatan.
ASSERTION TRAINING
Banyak orang yang merasa kesulitan untuk membuat keputusan
yang tegas bagi diri mereka sendiri. Orang dengan keterampilan sosial yang
kurang seringkali mengalami kesulitan interpersonal di rumah, di tempat kerja,
di sekolah, dan selama waktu luang. Assertion training sangat berguna bagi:
1. orang yang tidak dapat menunjukkan kemarahan atau
kejengkelan
2. orang yang kesulitan berkata ’tidak’
3. orang yang terlalu sopan dan membiarkan orang lain
mengambil keuntungan dari dirinya
4. orang yang kesulitan mengekspresikan afeksi dan
respon-respon positif lainnya
5. orang yang merasa bahwa mereka tidak punya hakuntuk
menyatakan pemikiran, keyakinan, dan perasaannya
6. orang yang menderita phobia sosial
Asumsi dasar yang mendasari assertion training adalah bahwa
seseorang mempunyai hak (bukan kewajiban) untuk mengekspresikan dirinya. Salah
satu tujuan assertion training adalah untuk meningkatkan kemampuan berperilaku
individu sehingga mereka dapat membuat pilihan reaksi apa yang akan ditunjukkan
dalam situasi tertentu. Tujuan lainnya adalah mengajarkan seseorang untuk
mengekspresikan dirinya dengan cara-cara yang merefleksikan sensitivitasnya
terhadap perasaan dan hak-hak orang lain. Asersi bukan berarti agresi. Jadi,
seseorang yang benar-benar asertif tidak akan egois hanya mempertahankan haknya
saja dan mengabaikan perasaan orang lain.
Beberapa metode assertion training didasarkan pada
prinsip-prinsip terapi kognitif behavioral. Umumnya, terapis mengajarkan dan
memberi contoh perilaku yang diharapkan muncul pada klien. Perilaku-perilaku
tersebut diajarkan dalam ruang terapi dan kemudian diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Assertion training biasa dilaksanakan berkelompok. Jika format
kelompok digunakan, modeling dan instruksi-instruksi diberikan pada semua
anggota kelompok. Para anggota kemudian berlatih kemampuan berperilaku secara
bergantian (role-play). Setelah latihan tersebut, para anggota diberi feedback
(umpan balik) yang berisi penguatan atas aspek-aspek perilaku yang benar dan
instruksi-instruksi tentang bagaimana memperbaiki perilaku tersebut.
Masing-masing anggota ikut serta dalam latihan berperilaku asertif yang lebih
jauh sampai kemampuannya ditunjukkan secara adekuat dalam berbagai situasi
simulasi (latihan) (Miltenberger,2004).
SELF MANAGEMENT PROGRAMS & SELF-DIRECTED BEHAVIOR
Dalam program self management individu membuat keputusan
mengenai perilaku spesifik yang ingin mereka kontrol/rubah. Beberapa contoh
umum adalah mengendalikan perilaku merokok, mabuk atau memakai obat terlarang,
belajar pembelajaran dan kemampuan mengatur waktu, serta menghadapi obesitas
dan terlalu banyak makan. Seseorang kadang menemukan bahwa alasan utama mereka
tidak dapat mencapai tujuan adalah kekurangan kemampuan-kemampuan tertentu atau
pengharapan yang tidak realistis. Dalam area-area tertentu pendekatan self
directed dapat menyediakan panduan untuk perubahan dan sebuah rencana yang akan
mengarahkan pada perubahan.
Lima karakteristik dari program self management yang efektif
dikemukakan oleh Cormier dan Nurius :
1. Kombinasi dari berbagai strategi self management biasanya
lebih berguna daripada hanya satu strategi tunggal
2. Usaha self management harus dilakukan terus-menerus dalam
suatu periode atau efektivitasnya untuk memunculkan perubahan yang signifikan
terbatasi
3. Klien perlu untuk membuat self evaluation dan menentukan
tujuan-tujuan yang sanga bermakna pribadi bagi mereka
4. Pemakaian self reinforcement adalah sebuah komponen penting
dari program self management
5. Kadang dukungan dari lingkungan dibutuhkan untuk
mempertahankan perubahan-perubahan yang dihasilkan dari program self management
Meskipun harapan bisa menjadi faktor terapeutik yang
menyebabkan perubahan, harapan yang tidak realistis dapat membuka jalan bagi
suatu pola kegagalan dalam sebuah program self change. Jika ingin sukses dalam program
seperti ini, dibutuhkan sebuah analisis yang hati-hati dan tahap-tahap dasar
dari program self management yang disediakan oleh Watson dan Tharp (2002) ini
harus diikuti:
1. Memilih tujuan
Tahap pertama dimulai dengan menetapkan perubahan apa yang diinginkan.
Tujuan-tujuan harus ditetapkan sat itu juga dan tujuan itu harus dapat diukur,
dapat dicapai, positif, dan penting bagi orang tersebut. Harapan sebaiknya
realistis.
2. Mewujudkan tujuan-tujuan ke dalam perilaku target
Berikutnya, tujuan-tujuan yang telah dipilih diwujudkan dalam
perilaku-perilaku target. Pertanyaan kuncinya adalah,”Perilaku spesifik apa
yang ingin aku tingkatkan atau kurangi?”
3. Self monitoring
Satu tahap pertama yang penting dalam self directed change
adalah proses self monitoring, di mana klien dengan sengaja dan sistematis
mengobservasi perilaku mereka sendiri. Salah satu metode paling sederhana untuk
mengobservasi perilaku adalah dengan membuat catatan harian behavioral.
Kejadian dari perilaku-perilaku khusus dicatat oleh klien, bersama dengan
komentar-komentar mengenai isyarat-isyarat anteseden yang relevan dan
konsekuensi-konsekuensi.
4. Menyusun sebuah rencana perubahan
Tahap ini dimulai dengan membandingkan antara informasi yang
dihasilkan dari self monitoring dan standar klien untuk perilaku spesifik.
Setelah klien membuat evaluasi atas perubahan behavioral yang ingin mereka
dapatkan, mereka melaksanakan sebuah perubahan aktual yang termasuk metode
seperti punishment, stimulus control, behavioral contracts dan dukungan sosial.
Beberapa tipe sistem self reinforcement diperlukan dalam rencana ini karena
reinforcement adalah inti dari terapi behavior modern. Self reinforcement
adalah strategi sementara yang digunakan klien sampai mereka sukses
mengimplementasikan perilaku baru mereka dalam kehidupan sehari-hari. Sangatlah
penting klien mengambil langkah-langkah untuk meyakinkan bahwa mereka
mempertahankan perubahan yang telah mereka capai.
5. Evaluasi sebuah rencana aksi
Untuk menentukan sejauh mana klien mencapai tujuan mereka,
sangat perlu untuk mengevaluasi rencana perubahan tersebut. Rencana tersebut
terus menerus diperbaiki dan direvisi sambil klien mencari cara lain untuk
mencapai tujuannya. Evaluasi adalah sebuah proses terus-menerus dan bukan hanya
kejadian sesaat dan self change adalah sebuah latihan seumur hidup.
Kesuksesan usaha self change dimulai dengan menentukan suatu
tujuan realistis dan menyediakan sebuah rencana konkrit untuk mencapai
perubahan perilaku. Strategi self management sudah diterapkan pada beberapa
populasi dan masalah seperti kecemasan, depresi, dan rasa sakit. Penelitian
atas self management telah dilaksanakan dalam berbagai macam masalah kesehatan
antara lain arthritis, asma, kanker, penyakit jantung, penyalahgunaan zat,
diabetes, sakit kepala, gangguan penglihatan, nutrisi dan perawatan kesehatan
diri. (Cormier & Nurius,2003).
TERAPI MULTIMODAL: TERAPI CLINICAL BEHAVIOR
Terapi multimodal adalah sebuah sebuah pendekatan yang
komprehensif, sistematis, dan holistik dalam terapi behavior yang dikembangkan
oleh Arnold Lazarus. Pendekatan ini berkembang dalam teori belajar sosial dan
teori kognitif dan menggunakan teknik-teknik behavioral dalam mengatasi
berbagai macam permasalahan. Model ini menyatakan bahwa kita adalah makhluk
sosial yang bergerak, merasa, mengerti, membayangkan, dan berpikir.
Terapi multimodal adalah sebuah sistem terbuka yang mendukung
technical eclecticism. Teknik baru yang secara konstan diperkenalkan dan
memperbaiki teknik-teknik yang sudah ada, namun tidak pernah digunakan dalam
tatacara yang dipaksakan.
TECHNICAL ECLECTICISM
Terapis multimodal meminjam teknik-teknik dari beberapa sistem
terapi lain. Beberapa teknik yang mereka gunakan di dalam terapi individual
antara lain: training manajemen kecemasan (Anxiety-Management Training),
behavior rehearsal, bibliotherapy, biofeedback, communication training,
contingency contracting, mediation, positive imagery, positive reinforcement,
relaxation training, self instruction training, sensate focus training, time
projection, dan thought stopping. Sebagian besar taknik-teknik tersebut adalah
metode-metode behavioral standar yang diambil dari 4 cabang utama pendekatan
behavioral.
Para terapis mengakui bahwa beberapa klien yang datang
mengikuti terapi perlu mempelajari keterampilan-keterampilan dan terapis harus
mau mengajarkan, melatih, mendidik, memberi contoh, dan mengarahkan kliennya.
Mereka secara ksusus berfungsi sebagai penyedia informasi, instruksi, dan
reaksi. Mereka menantang keyakinan-keyakinan self defeating, menawarkan
feedback yang konstruktif, memberikan reinforcement positif dan self disclosing
yang tepat. Sangatlah perlu terapis memulai dari mana klien berada dan kemudian
bergerak ke dalam area-area produktif lain untuk dieksplorasi. Kegagalan untuk
memahami situasi klien dapat dengan mudah menyebabkan klien merasa terasing dan
salah paham (Lazarus,2000b).
THE BASIC I.D.
Esensi dari pendekatan multimodal Lazarus adalah premis yang
menyatakan bahwa kepribadian kompleks manusia dapat dibagi dalam 7 area fungsi
utama, yaitu: B = Behavior, A = Affective responses, S = Sensations, I =
Images, C = Cognitions, I = Interpersonal relationship, dan D = Drugs,
biological functions, nutrition dan exercise (Lazarus). Meskipun
modalitas-modalitas tersebut saling berpengaruh, mereka dapat dipertimbangkan
sebagai fungsi-fungsi tersendiri.
Terapi multimodal dimulai dengan sebuah asesmen komprehensif
atas ketujuh modalitas fungsi manusia dan interaksi antar modalitas-modalitas
tersebut. Sebuah asesmen yang komplit dan program treatment harus memberikan
keterangan masing-masing modalitas dari BASIC ID tersebut, di mana peta
kognitif saling berhubungan dengan masing-masing aspek kepribadian.
Pendekatan Multimodal ini didasarkan pada tipe-tipe pertanyaan
yang diajukan Lazarus :
1. Behavior. Model ini mengarah pada perilaku berterus terang,
termasuk di dalamnya tindakan, kebiasaan, reaksi yang dapat diamati dan dapat
diukur. Contoh : “apa yang ingin kau ubah?” “seberapa aktif dirimu?”
2. Afeksi. Model ini mengarah pada emosi, suasana hati,
perasaan yang kuat. Contoh : “apa yang dapat membuatmu tertawa, sedih,
menangis, senang, takut?”
3. Sensasi. Model ini mengarah pada panca indera.
Contoh : “sensasi seperti apa yang paling kau sukai atau tidak
kau sukai dari melihat, memcium, mendengarkan, menyentuh, dan merasa?”
4. Imajinasi. Model ini mengarah pada cara dimana kita
menggambarkan diri sendiri, dan di dalamnya terdapat kenangan, mimpi, dan
fantasi.
Contoh : “bagaimana kamu melihat tubuhmu?” “bagaiman kamu
melihat dirimu sendiri?”
5. Kognitif. Model ini mengarah pada kemampuan untuk mengerti,
filosofi, ide, opini, dan judgement, juga sikap, dan kepercayaan.
Contoh : “bagaiman pemikiran-pemikiranmu dapat berdampak pada
emosimu?” “apakah hal-hal negatif yang kau katakan pada dirimu?”
6. Hubungan Interpersonal. Model ini berhubungan pada
interaksi dengan orang lain.
Contoh : “apa yang kau harapkan dari orang-orang dalam
hidupmu?” “adakah beberapa hubungan dengan beberapa orang yang ingin kau ubah?”
7. Obat-obatn/Biologis. Tidak hanya meliputi obat-obatan,
tetapi juga kebiasaan-kebiasaan klien yang berhubungan dengan nutrisi dan
olahraga mereka.
Contoh : “apakah anda memperhatikan kesehatan anda?” “apakah
kebiasaan-kebiasaanmu
Terapi Ringkas dan Menyeluruh
Terapi komprehensif dan menyeluruh ini termasuk di dalamnya
mengoreksi ketidakpercayaan, perilaku devian, perasaan tidak suka, dan
kemungkinan biokemikal yang tidak seimbang. Terapis multimodal percaya bahwa
klien belajar banyak dalam terapi sedangkan kemungkinana terkecilnya adalah
masalah-masalah lama yang akan terjadi lagi.
Franks menyatakan : “Terapi ringkas multimodal adalah terapi
behavior dalam salah satu bentuk paling popular. Efisien, efektif, teachable,
dan menyeluruh tanpa menjadi kaku.
Terapis mengidentifikasi satu isu specific dari masing-masing
aspek dari BASIC I.D. Kerangka kerja sebagai sebuah target untuk mengubah dan
mengajari klien sebuah susunan teknik yang dapat mereka gunakan untuk melawan
pikiran yang bersalah, untuk belajar bersikap santai dalam situasi stres, dan
untuk mendapat kemampuan interpersonal efektif.
Terapis Peran Multimodal
Terapis multimodal menjaga untuk menjadi sangat aktif selama
sesi terapi, memfungsikan sebagai trainer, pengajar, konsultan, dan contoh
peran. Mereka memberikan informasi, instruksi, dan timbale balik seperti contoh
perilaku asertif, menantang penolakan kepercayaan, menawarkan saran, menawarkan
reinforcement positif, dan menjadi lebih membuka diri.
Terapi panggilan efektif bagi konselor untuk menjadi “bunglon
otentik”(Lazarus, 1993), yang berarti bahwa sesuatu dimainkan secara fleksibel
dalam gaya berhubungan adalah sama pentingnya dengan teknik meningkatkan hasil
perawatan. Terapis butuh untuk membuat beberapa pilihan rasa menyesal dengan
berbagai gaya berbeda dalam berhubungan dengan klien. Mereka akan memutuskan
kapan dan bagaimana secara langsung terlibat atau hanya sekadar mendukung,
dingin atau hangat, formal atau informal, dan kuat atau lembut. Yang terpenting
adalah kemampuan terapis untuk menggabungkan gaya berhubungan yang paling
sesuai.
Penggabungan Teknik Behavioral dengan Pendekatan Psikoanalitik
Kontemporer
Aspek-aspek terapi behavior dapat dikombinasikan dengan
sejumlah pendekatan-pendekatan terapeutik.
• Dalam fase pertama, konselor harus mampu untuk mendengar
cerita dari klien, untuk mengerti dunia fenomenologi mereka, dan untuk
membangun rapor dengan mereka. Pada fase ini konselor harus menggali perasaan
menyesal klien dari masa lalu dan keadaan sekarang dan contoh pemikiran yang
mempengaruhi interpretasi klien terhadap dunia.
• Dalam fase kedua, insight ini jarang memungkinkan klien
untuk mengakui dan mengekspresikan kenangan-kenangan buruk, perasaan-perasaan,
dan pikiran-pikiran. Karena klien mampu untuk memproses yang direpresi
sebelumnya dan memori disosiasi dan perasaan dalam konseling,
perubahan-perubahan kognitif dalam persepsi diri dan yang jarang terjadi.
Karena klien sedang mengusahakan secara kognitif proses penstrukturan ulang
situasi hidup, mereka mandapatkan sesuatu yang baru dan beradaptasi dengan cara
berpikir, berperasaan, dan meniru.
• Dalam fase ketiga dan perawatan fase akhir, dimana merupakan
fase tindakan. Saat bagi klien untuk berusaha memperbarui perilaku berdasarkan
pada kemampuan insight, pengertian, dan penstrukturan ulang kognitif yang
dipeoleh pada fase konseling teradahulu. Pengakhiran konseling adalah sebuah
keputusan yang berdasarkan pada perubahan kualitatif dalam hubungan klien dan
gaya hidup.
Berdasarkan Morgan dan MacMillan (1999), terdapat peningkatan
dalam literature bahwa teknik kognitif behavioral perlu diperhatikan, perubahan-perubahan
kognitif klien. Mengadaptasi dari konsep dasar pemikiran psikoanalisis untuk
menghubungkan terapi secara ringkas membuat pendekatan-pendekatan ini berguna
dalam terapi waktu-terbatas.
TERAPI BEHAVIOR DARI SEBUAH PERSPEKTIF MULTIKULTURAL
Kontribusi untuk Konseling Multikultural
Terapi behavior memiliki beberapa keuntungan dibandingkan
teori-teori lain yang bekerja dalam populasi multikultural. Karena kebudayaan
dan latar belakang etnik mereka, beberapa klien memegang nilai-nilai yang
berlawanan terhadap pengekspresian perasaan dan saling berbagi antarindividu.
Konseling behavioral tidak menitikberatkan pada pengalaman katarsis. Yakni
mengubah perilaku spesifik dan mengembangkan kemampuan menyelesaikan-masalah.
Klien yang merencanakan tindakan dan perubahan behavioral memungkinkan untuk
bekerja sama dengan pendekatan ini karena mereka dapat melihat bahwa hal itu
menawarkan pada mereka metode-metode kongkrit untuk berdamai dengan
permasalahan-permasalahan hidup mereka.
Tanaka Matsumi dkk (2002) menyatakan bahwa terapi behavior
berdasarkan pada sebuah analisis eksperimental behavior dalam lingkungan social
klien. Pendekatan behavioral telah bergerak melebihi perlakuan terhadap masalah
behavioral klien. Hal ini memberikan penekanan pada suatu assessment yang
cermat untuk memastikan bahwa tidak hanya kondisi tertentu yang bias
menimbulkan masalah pada klien, tetapi juga klien mau menerima perubahan pada
tingkah lakunya dan apakah perubahan tesebut memberikan peranan yang penting
dalam kehidupan klien.
Dalam membuat suatu assessment yang tepat terapis behavioral
memasukkan konteks kebudayaan. Dimana tingkah laku klien juga dapat dipengaruhi
oleh lingkungan social budaya klien. Sumber-sumber atau pengaruh yang kuat yang
didapat dari lingkungan disekeliling klien dapat membawa perubahan terhadap
klien.
KETERBATASAN DALAM KONSELING MULTIKULTURAL
Menurut Spiegler & Guevremont (2003), tantangan kedepan
untuk terapis behavioral adalah untuk mengembangkan secara empiris didasarkan
rekomendasi tentang bagaimana terapi behavioral dapat secara optimal melayani
bermacam-macam klien dengan budaya yang berbeda-beda. Meskipun terapi
behavioral sensitive terhadap perbedaan antara klien delam pengertian yang luas
terapis behavioral memerlukan untuk menjadi lebih responsive terhadap isu-isu
khusus yang menyinggung semua bentuk perbedaan. Karena ras, gender etnik dan
orientasi seksual adalah factor yang kritis yang mempengaruhi proses dan hasil
dari terapi. Ketika klien membuat perubahan secara personal yang signifikan sangat
mungkin bahwa orang-orang disekeliling klien akan bereaksi secara berbeda
terhadap perubahan tingkah laku klien. Oleh karena itu, sebelum memutuskan
terlalu cepat dalam pencapaian tujuan terapi konselor dank lien memerlukan
diskusi tentang keuntungan dan kerugian dari perubahan yang akan dialami oleh
klien.
Makalah “Cognitive-Behavior Therapy: Solusi Pendekatan Praktek
Konseling
di Indonesia” oleh Idat
Muqodas
Komentar
Posting Komentar